Reporter : Ainur Rohim
Sidney (beritajatim.com)--Pengusaha Jawa Timur diharapkan bisa memacu pasar di luar negeri, termasuk ke Australia. Untuk keperluan ini, pengusaha nasional perlu bersinergi untuk melakukan riset pemasaran yang komprehensif guna memetakan potensi pasar di Negeri Kanguru tersebut.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Umum Kadin Jatim Bidang Pengembangan Jaringan Usaha, Diar Kusuma Putra, di Sidney, Jumat (1/7/2011). Diar dihubungi wartawan dari Surabaya sesuai delegasi Kadin Jatim bertemu dengan Kadin New South Wales, Australia, Jumat (1/7/2011).
"Pengusaha kita sebenarnya bisa memanfaatkan keberadaan Indonesia-Australia Business Council untuk mengetahui potensi pasar yang bisa digarap di Australia. Namun hal itu selama ini tak optimal," ujar Diar.
Berdasarkan data BPS, perdagangan Indonesia-Australia terus menunjukkan tren positif setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan 8,2% per tahun sepanjang 2006-2010. Pada 2010, nilai perdagangan kedua negara mencapai USD 8,3 miliar.
Namun, neraca perdagangan Indonesia dan Australia masih terus defisit. Pada 2006 desifit USD 1,076 miliar, 2007 defisit USD 949,226 juta, 2008 defisit USD 1,873 miliar, 2009 defisit USD 1,662 miliar, dan 2010 defisit USD 1,729 miliar.
Neraca perdagangan Jatim dan Australia juga masih defisit. Pada periode Januari-Mei 2011, impor nonmigas Jatim dari Australia mencapai USD 261,45 juta, naik 24,7% dibanding Januari-Mei 2010 yang sebesar USD 209,49 juta. Kontribusi impor nonmigas dari Australia terhadap total impor nonmigas sebesar 4,09%. Ekspor Jatim ke Australia tidak tercatat dalam jajaran sepuluh besar ekspor karena nilainya tidak signifikan.
Indonesia mengekspor berbagai komoditas curah seperti nikel, kertas, dan bahan kimia. Adapun Australia mengirim gandum, korondum, gula, biji besi, pupuk, alumunium, ternak, dan peralatan industri.
Diar menuturkan, pengusaha nasional juga perlu meningkatkan nilai tambah ekspor ke Australia. Pasalnya, selama ini produk curah yang diekspor Indonesia merupakan bahan mentah yang akan diproses lebih lanjut dan bahkan direekspor ke Indonesia.
"Adapun untuk produk manufaktur kita, berdasarkan pantauan kita di sini dan sharing dari pengusaha di New South Wales, belum bisa bersaing dengan produk dari China, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura," tutur Diar.
Senior Manager International Trade di Australian Business Consulting and Solutions, Ian Bennett, mengatakan, produk dari Indonesia kurang memiliki daya saing, bahkan jika dibandingkan dengan produk serupa dari kawasan Asean. "Pengusaha Indonesia juga kurang memiliki konsep riset pemasaran yang bagus. Perlu ada pengembangan market intelligence ," ujar Ian seperti ditirukan Diar. Ian sendiri memang ditugaskan pada divisi perdagangan internasional dengan spesialisasi kawasan ASEAN.
Diar menambahkan, dengan membidik pasar Australia, Indonesia sekaligus juga bisa menyasar pasar negara-negara sekawasan seperti Selandia Baru, Kepulauan Fiji, Kepulauan Solomon, Republik Palau, Republik Kiribati, maupun Vanuatu.
Pasar di Australia sebenarnya juga bisa dikembangkan lebih luas lagi dan tidak bertumpu pada dua kota besar, yaitu Melbourne dan Sidney. Selama ini, konsentrasi kargo Indonesia hanya menuju ke Pelabuhan Melbourne dan Sydney masing-masing sebesar 37% dan 31%. Adapun sisanya ke Pelabuhan Brisbane sebesar 15%, Perth/Fremantle sebesar 12%, dan Flinders sebesar 5%.
Kerja sama bisnis Diar menambahkan, Kadin New South Wales menawarkan sejumlah kerja sama bisnis, antara lain, di bidang investasi dan operator kepelabuhanan, tenaga panas bumi (gothermal), suplai air bersih, dan pengembangan energi, baik energi terbarukan maupun energi tak terbarukan.
"Kadin New South Wales juga menawarkan pengaturan alur distribusi daging sapi asal australia pascalarangan pemerintah Australia mengenai ekspor sapi ke Indonesia. Mereka berharap bisa melanjutkan komunikasi secara lebih intens dalam rangka pertemuan berikutnya dalam bentuk one on one business meeting, sehingga kerja sama ini menjadi lebih konkrit," papar Diar.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Umum Kadin Jatim Bidang Pengembangan Jaringan Usaha, Diar Kusuma Putra, di Sidney, Jumat (1/7/2011). Diar dihubungi wartawan dari Surabaya sesuai delegasi Kadin Jatim bertemu dengan Kadin New South Wales, Australia, Jumat (1/7/2011).
"Pengusaha kita sebenarnya bisa memanfaatkan keberadaan Indonesia-Australia Business Council untuk mengetahui potensi pasar yang bisa digarap di Australia. Namun hal itu selama ini tak optimal," ujar Diar.
Berdasarkan data BPS, perdagangan Indonesia-Australia terus menunjukkan tren positif setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan 8,2% per tahun sepanjang 2006-2010. Pada 2010, nilai perdagangan kedua negara mencapai USD 8,3 miliar.
Namun, neraca perdagangan Indonesia dan Australia masih terus defisit. Pada 2006 desifit USD 1,076 miliar, 2007 defisit USD 949,226 juta, 2008 defisit USD 1,873 miliar, 2009 defisit USD 1,662 miliar, dan 2010 defisit USD 1,729 miliar.
Neraca perdagangan Jatim dan Australia juga masih defisit. Pada periode Januari-Mei 2011, impor nonmigas Jatim dari Australia mencapai USD 261,45 juta, naik 24,7% dibanding Januari-Mei 2010 yang sebesar USD 209,49 juta. Kontribusi impor nonmigas dari Australia terhadap total impor nonmigas sebesar 4,09%. Ekspor Jatim ke Australia tidak tercatat dalam jajaran sepuluh besar ekspor karena nilainya tidak signifikan.
Indonesia mengekspor berbagai komoditas curah seperti nikel, kertas, dan bahan kimia. Adapun Australia mengirim gandum, korondum, gula, biji besi, pupuk, alumunium, ternak, dan peralatan industri.
Diar menuturkan, pengusaha nasional juga perlu meningkatkan nilai tambah ekspor ke Australia. Pasalnya, selama ini produk curah yang diekspor Indonesia merupakan bahan mentah yang akan diproses lebih lanjut dan bahkan direekspor ke Indonesia.
"Adapun untuk produk manufaktur kita, berdasarkan pantauan kita di sini dan sharing dari pengusaha di New South Wales, belum bisa bersaing dengan produk dari China, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura," tutur Diar.
Senior Manager International Trade di Australian Business Consulting and Solutions, Ian Bennett, mengatakan, produk dari Indonesia kurang memiliki daya saing, bahkan jika dibandingkan dengan produk serupa dari kawasan Asean. "Pengusaha Indonesia juga kurang memiliki konsep riset pemasaran yang bagus. Perlu ada pengembangan market intelligence ," ujar Ian seperti ditirukan Diar. Ian sendiri memang ditugaskan pada divisi perdagangan internasional dengan spesialisasi kawasan ASEAN.
Diar menambahkan, dengan membidik pasar Australia, Indonesia sekaligus juga bisa menyasar pasar negara-negara sekawasan seperti Selandia Baru, Kepulauan Fiji, Kepulauan Solomon, Republik Palau, Republik Kiribati, maupun Vanuatu.
Pasar di Australia sebenarnya juga bisa dikembangkan lebih luas lagi dan tidak bertumpu pada dua kota besar, yaitu Melbourne dan Sidney. Selama ini, konsentrasi kargo Indonesia hanya menuju ke Pelabuhan Melbourne dan Sydney masing-masing sebesar 37% dan 31%. Adapun sisanya ke Pelabuhan Brisbane sebesar 15%, Perth/Fremantle sebesar 12%, dan Flinders sebesar 5%.
Kerja sama bisnis Diar menambahkan, Kadin New South Wales menawarkan sejumlah kerja sama bisnis, antara lain, di bidang investasi dan operator kepelabuhanan, tenaga panas bumi (gothermal), suplai air bersih, dan pengembangan energi, baik energi terbarukan maupun energi tak terbarukan.
"Kadin New South Wales juga menawarkan pengaturan alur distribusi daging sapi asal australia pascalarangan pemerintah Australia mengenai ekspor sapi ke Indonesia. Mereka berharap bisa melanjutkan komunikasi secara lebih intens dalam rangka pertemuan berikutnya dalam bentuk one on one business meeting, sehingga kerja sama ini menjadi lebih konkrit," papar Diar.